Kata
orang, agar Indonesia bisa maju, harus punya wirausaha kurang lebih 2% dari
jumlah penduduk Indonesia. Dan sekarang pun jamannya semua institusi punya
program pengembangan wirausaha. Mulai dari pendidikan, koperasi, perindustrian,
bahkan hingga pemuda dan olahraga. Akibatnya, banyak yang latah untuk entah
ikut – ikutan atau memang benar – benar dari hati menyatakan diri saya akan
memulai usaha. Padahal menurut analisis dan pengalaman pribadi saya, menjadi
wirausaha itu sungguh sulit. Jangankan menjadi wirausaha, memutuskan menjadi
wirausaha saja sudah sedemikian susah.
Saya
memulai kehidupan di dunia industri sejak masuk ke bangku SMK. Mengenyam
pendidikan di jurusan kimia industri mulai membuat saya akrab dengan dunia itu.
Dilanjutkan lagi dengan kuliah berikatan dinas sebagai penyuluh industri kecil.
Rasa – rasanya membuta saya semakin lengket saja dengan dunia industri. Selama menjadi
penyuluh industri, saya banyak belajar dari industri kecil dan menengah yang
menjadi dampingan saya. Dan sedikit demi sedikit saya terapkan dalam kehidupan
pribadi.
Berbicara
tentang motif membuka usaha, tentu sangat berbeda – beda. Tetapi saya akui
bahwa di level industri kecil dan menengah yang saya dampingi, sebagian besar
motif mereka adalah meneruskan usaha keluarga dan atau mengikuti jejak
tetangga. Jika tetangga memiliki usaha emping melinjo misalnya, maka tetangga
yang belum bekerja akan belajar dan memulai usaha emping melinjo pula hingga
akhirnya terbentuk suatu sentra industri.
Bagi
anak muda, memulai usaha dan menjadi wirausaha baru itu seperti sebuah trend. Banyak
institusi yang menyelenggarakan kompetisi wirausaha yang akhirnya menelurkan
wirausaha – wirausaha baru yang bahkan memiliki usia yang sangat muda. Saya berharap
rekan – rekan pengusaha muda ini memang fokus dan serius dalam menjalankan
usahanya. Bagaimana tidak? Saya sendiri juga merasakan. Ikatan dinas yang hanya
2 tahun dan diharapkan menjadi wirausaha pasca kontrak memang menjadi pilihan
sulit bagi rekan – rekan satu profesi di seluruh nusantara yang notabene
merupakan kaum intelektual yang telah mengenyam bangku kuliah.
Sebuah
kondisi yang memang lumrah ketika rekan – rekan saya banyak yang memilih untuk
bekerja di perusahaan besar. Jaminan gaji tetap bulanan dan pekerjaan yang
jelas memang sangat menyenangkan bagi anak muda yang menatap masa depan dengan
begitu indahnya. Tetapi saya juga tidak menyalahkan mereka karena hidup itu
adalah pilihan bagi masing – masing orang. Yang menjadi pembelajaran disini
adalah bahwa motivasi menjadi wirausaha itu sedemikian sulit untuk ditumbuhkan.
Kemudian
muncul satu aliran pemahaman lagi, saya mau bekerja tapi sambil berwirausaha. Sayangnya
saya bukan yang memahami aliran itu, bahkan seringkali saya menjadi pihak yang
menentang paham seperti itu. Saya selalu berpaham bahwa sesuatu yang tidak
fokus, tidak akan menghasilkan sesuatu yang optimal. Saya berpendapat bahwa
karyawan itu memiliki keterikatan waktu dengan pemberi kerjanya. Ketika selesai
bekerja tentu tenaga dan pikiran sudah terkuras dan akhirnya hanya menyisakan
lelah. Dalam kondisi seperti itu, bagaimana bisa berwirausaha, memikirkan
produksi, karyawannya, belum mencari jaringan dan pasar. Berat sungguh jika
memang bisa dilakoni oleh orang yang super. Oleh karena itu, saya memutuskan
saya mau jadi wirausaha. Titik. No compromized.
Sebagai
orang yang berpassion di dunia usaha dan sudah memulai usaha baru, saya bukan
orang yang lantas mengesampingkan pendidikan. Bagi saya pendidikan itu amat
sangat penting sekali. Buktinya, selama masih kontrak ikatan dinas pun saya
sudah melanjutkan kuliah saya dan selesai kontrak saya juga selesai kuliah. Namun
sayangnya hal ini justru menimbulkan tantangan pula. Pemahaman orang tua dan
keluarga bahwa kaum yang mengenyam bangku kuliah nantinya lantas melamar
pekerjaan di perusahaan besar menjadi tantangan dan tamparan keras bagi saya. Sedih
saat dikatakan “kalau kamu berwirausaha, kuliah kamu buat apa”, rasanya benar –
benar seperti ditampar. Tetapi memang seperti itu lah. Membuat keputusan untuk
menjadi wirausaha itu luar biasa susah karena keputusan itu berarti sebuah
keputusan total dimana fokus waktu, tenaga dan pikiran harus tercurah
sepenuhnya untuk usaha. Tidak hanya sebatas itu, bahkan harus melabeli diri
dengan sebutan “bakul” dan menerima pandangan status seperti pengangguran
karena tidak berangkat pagi pulang sore dari kantor. Tetapi ini lah saya, saya
bangga dengan menjadi wirausaha, karena saya berorientasi pada masa depan dan
kebermanfaatan.
Yogyakarta, 27 April 2014